Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

Berkaca Pada Ngruki

Jikalau memang Ponpes al-Mukmin Ngruki  memasukkan Jihad sebagai bagian dari kurikulum pendidikannya, betapa luar biasa sistem pendidikan disana. Setidaknya ada 5 orang alumni al-Mukmin yang terlibat dalam berbagai aksi “terorisme”. Sebut saja Faturohman Al Ghozi, lulusan Ngruki tahun 1986 yang tewas ditembak di Philipina. Lantas Ali Gufron alias Muklas terpidana mati Bom Bali I juga lulusan pesantren ini. Selain itu juga Arief Sunarno alias Zulkaraen, si Panglima Laskar Askyari Jamaah Islamiyah. Dan tentu saja Asmar Latin Sani dan Nur Sahid, keduanya adalah pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot.


Setiap akhir tahun ajaran, hampir seluruh elemen pendidikan bangsa ini mencaci maki UNAS, yang katanya mereduksi pendidikan hanya sekedar angka. Menafikan nilai, akhlaq, dan etos belajar siswa. Sekolah hanya mentransfer ilmu, bukannya mentransformasikan nilai. Artifisial, jauh dari substansial. Bangsa ini sibuk menseminarkan, apakah siswi yang hamil di luar nikah boleh ikut ujian atau tidak? Dengan realita demikian, maka tidaklah mengherankan, jika lulusan perguruan tinggi sekelas ITB sekalipun hanya menghasilkan gerombolan koruptor yang terdidik!

Ngruki adalah anti-tesis dari semua kebobrokan sistem pendidikan modern bangsa ini. Ngruki bukanlah pesantren modern. Sistem pengajarannya pun klasikal, tidak ada Quantum Learning disana. Tapi out put pendidikannya membua tercengang. Mereka bisa menghasilkan lulusan berkualitas martir. Tidak pernah berpikir mendapat apa, tapi selalu bertanya apa yang bisa diberikan untuk apa yang diperjuangkan. Bukankah ini ultimate goal dari semua institusi pendidikan. Tak peduli Islam, Kristen, Yahudi, sekuler, ataupun komunis. Semuanya berharap bahwa pendidikan mereka mampu menciptakan kader yang militan bukan kader meletan (jawa: menjulurkan lidah).

Tujuan di atas melampaui tujuan-tujuan pendidikan yang lain. Suatu yang baik jika sebuah institusi pendidikan bertujuan menciptakan alumni yang berjiwa enterprenuer. Daripada hanya sekedar mencetak mesin pembawa ijazah, yang satu-satunya harapan hidup yang dimilikinya adalah agar ia lulus ujian PNS tahun depan.

Tapi, jika kita berkecimpung di sebuah lembaga, organisasi, harakah, jama’ah atau apapun namanya, sesungguhnya hidup mati suatu lembaga tidak bergantung pada jumlah tehnokrat dan enterprenurnya. Tapi, sekali lagi, hidup dan mati sebuah lembaga bergantung pada seberapa banyak dan besar anggota yang mau berkorban untuknya.

Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar