Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

Dakwah: Sebuah Realita

Untuk mencapai Kelurahan Pintu Kota (10 27' 09,00" LU dan 1250 14' 49,38" BT) dari rumah saya, setidaknya membutuhkan waktu 4 jam perjalanan. Kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Lembeh Utara, Kota Bitung, Propinsi Sulawesi Utara ini adalah salah satu andalan Propinsi Sulawesi Utara untuk menarik wisatawan. Keasrian pantai dan keindahan panorama bawah lautnya memang sangat memukau. Tidaklah mengherankan jika setiap saat dijumpai kapal pesiar dari berbagai negara berlabuh disekitarnya.

Di Kelurahan Pintu Kota (KPT) terdapat 14 KK muslim, sedangkan 64 KK  lainnya beragama Kristen. Hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, sisanya adalah petani, buruh, guru, dan karyawan di resort ataupun hotel yang banyak terdapat di sepanjang pantai.

Terakhir kalinya, saya mengunjungi KPT untuk tujuan dakwah adalah pada Idul Adha kemarin (sekitar 7 bulan yang lalu). Sesudah itu, saya tidak pernah berkunjung lagi ke KPT. Dan ketika liburan sekolah seperti saat ini, saya "menyempatkan diri" bersilaturahmi kesana.

Kenapa saya menggunakan istilah "menyempatkan diri"? Pertama, karena memang jarak yang jauh tidak memungkinkan untuk saya fokus kesana. Setidaknya 3 kota (Manado, Airmadidi, dan Bitung) harus dilewati untuk mencapai KPT. Kedua, saya harus konfirmasi dan membuat appointment dengan mereka untuk mengumpulkan mereka di satu tempat dan mengadakan pengajian "massal". Jika tidak, maka kita tidak akan menemui seorang laki-laki pun di KPT. Menjelang malam, dermaga dipenuhi laki-laki dewasa, naik perahu mencari ikan, demi makan esok hari. Semalaman mereka melaut, tiba di rumah biasanya jam 8 pagi. Istirahat hingga siang. Setelah itu mereka sibuk kembali mempersiapkan diri dan perlengkapan untuk kembali melaut. Kapan kita bisa dakwahi mereka?

Satu-satunya jalan adalah dengan bergerilya. Mendatangi mereka di rumah-rumah. Meskipun dengan mendatangi rumah mereka, menyimpan lara dan perih yang memenuhi rongga dada.

Pada kunjungan kali ini, ada sebuah keterkejutan dalam diri yang sulit untuk diredam. Betapa ummat ini telah demikian carut-marut dikoyak kebodohan dan kemiskinan. Sudah lebih dari 3 tahun saya mengenal kamonitas ini. Dan tidaklah saya pernah menjumpai kemerosotan ukhuwah dan iman melebihi apa yang tengah terjadi pada mereka saat ini.
Bermula dari "pemanfaatan" tanah wakaf untuk kepentingan pribadi. Maka terbagilah masyarakat muslim KPT menjadi dua kubu. Masyarakat yang pro pada imam masjid, yang memanfaatkan tanah wakaf tersebut dan masyarakat muslim yang anti pada imam masjid. Mereka menuduh imam masjid telah memanfaatkan tanah wakaf masjid untuk membangun rumah bagi keluarganya. Astaghfirullah.

Dan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, pagi ini (22 Juni 2009) dua kubu tersebut insya Allah akan bermusyawarah yang dimediasi oleh Lurah, Camat, Kapolsek dan Danramil. Yang bersengkata sesama muslim yang memediasi non-muslim semuanya. Masya Allah.

Apapun hasil dari musyawarah tersebut, bagi saya pribadi, tidak akan pernah menguntungkan bagi ummat KPT. Ukhuwah sudah terlanjur pecah. Dan saya mengenal betul temperamen warga KPT.

Bagi saya, tidak ada kata gagal dalam berdakwah. Hanya saja untuk kasus KPT, terdapat banyak inefisiensi dan ketimpangan dalam proses dakwah. Antara lain sebagai berikut:

Pertama, ketiadaan da'i lokal (anak daerah) yang berdakwah di KPT. Memang mustahil jika kita mau berharap saat ini ada da'i dari masyarakat KPT sendiri. Akan tetapi bukankah banyak da'i yang sesuku bangsa dengan mereka. Yang memahami bahasa daerah, temperamen, wakta, dan tipikal psikologis serta budaya mereka. Yang tinggal di sekitar mereka. Lalu mengapa mereka tidak berdakwah di sana?

Kedua, kemiskinan tidak bisa dihilangkan hanya dengan ceramah. Harus ada skema pemberdayaan ekonomi ummat yang mensinergikan da'i dengan para aghniya'. Pemberdayaan ini menyangkut da'i dan mad'u sekaligus. Berdakwah di KPT jangan berharap mendapat uang jalan ataupun salam tempel. Tidak ada dan tidak mungkin. Oleh karenanya, aghniya harus memikirkan skema pemberdayaan untuk da'i. Yang lebih penting lagi adalah skema pemberdayaan untuk mad'u. Bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Sehingga ummat tidak mudah tersulut untuk bersengketa.

Ketiga, harus ada skema pendidikan yang efektif untuk anak-anak mereka. Sehingga dikemudian hari ada da'i dan guru yang memang berasal dari komunitas mereka sendiri. Yang ketika mereka menasihati sesamanya, tidak akan pernah ada stigma mencampuri urusan orang lain. Yang ini, sekali lagi harus mensinergikan kekuatan da'i dan aghniya'. Da'i mengajar dan agniya' (dermawan) memberikan beasiswa.

Jika ini berjalan, insya Allah dakwah akan semakin lapang.

0 komentar:

Posting Komentar