Rupanya saya datang terlalu awal. Di rumah kontrakan yang sekaligus jadi tempat usaha itu hanya terdapat beliau dan beberapa sanak saudara yang sibuk menyiapkan makanan untuk acara tahlilan ba’da Isya’ nanti.
Cak Mat (sebut saja demikian) adalah seorang pengusaha sukses di Manado. Pendapatan per harinya bisa untuk beli tiket PP Manado – Surabaya. Tujuh hari yang lalu anak kembar beliau meninggal 6 jam setelah dilahirkan dari rahim sang ibu.
Meski beliau tahu bahwa saya dari madzhab anti-tahlilan, beliau tetap mengundang saya di tujuh hari anaknya untuk acara taushiyah ba’da tahlilan. Kita—ummat Islam—mudah untuk bertoleransi dengan orang yang berbeda agama. Tetapi sulit mentolerir perbedaan sesama ummat Islam. Manado telah mengajari kami bertoleransi dengan baik. Dengan non-muslim dan sesama muslim.
Ditemani setengah gelas kopi dan sepiring kue nagasari, dengan mata merah membendung air mata, beliau rela membuka kisah sedih 7 hari silam. “Kedua anak saya lahir prematur 6 bulan”, beliau mengawali kisahnya dengan tarikan nafas sangat dalam. “Waktu itu, jam 12 malam, istri saya sudah menangis-nangis karena sakit di perutnya”. Frame demi frame beliau ceritakan dengan sangat detail.
“Anak saya lahir jam 1 lebih 5 menit. Seketika itu pula rumah sakit tempat istri saya melahirkan jadi gempar. Inkubator besar dan berat didatangkan. Tabung oksigen yang tak kalah besar dan beratpun dibariskan. Dokter dan perawat bergegas, berseliweran, menjalankan kerja sesuai dengan prosedur yang telah mereka kenal. Tadi saya hanya mendengar suara rintihan istri saya, sekarang tiba-tiba ribut luar biasa”.
“Dokter-dokter itu jelas mempunyai pengetahuan yang lebih luas ketimbang saya dalam hal medis. Setahu saya, bayi yang dilahirkan di bawah tujuh bulan kornea matanya masih belum terbentuk dengan sempurna. Kadar oksigen yang tidak stabil di dalam inkubator sudah cukup membuat seorang bayi buta seumur hidupnya”. Jelas beliau dengan dada naik turun menahan emosi.
“Jam 7 lewat 12 anak pertama saya meninggal, dan anak kedua saya menyusul 30 menit kemudian”, dan air mata yang beliau tahan dengan sekuat tenaga pun jatuh. Saya hanya menahan nafas sambil membesarkan hati beliau dengan kata-kata yang saya sendiri tak yakin apakah beliau mampu mendengarnya di tengah guncangan emosi semacam ini.
“Yang saya rasakan saat itu adalah betapa bodohnya manusia di hadapan Tuhan”, beliau pun melanjutkan dengan perkataan yang saya tak tahu kemana arahnya. “Kedua anak saya, enam bulan di perut ibunya. Enam bulan dibawa kemana-mana. Ke pasar, ke sekolah, masih sempat bersihkan rumah, membantu saya bekerja, semuanya normal. Dan sayapun menganggap itu normal”.
“Saya baru menyadari kehebatannya begitu Allah menyerahkan masalah pemeliharaan bayi ini kepada manusia. Begitu bayi 6 bulan itu diserahkan pemeliharaannya pada manusia. Ahli diturunkan, mesin bertekhnologi tinggi yang rakus listrik didatangkan. Semua sibuk dan bergegas. Namun anak saya cuma bertahan enam jam”.
“6 bulan Allah memelihara anak saya dalam rahim ibunya, semuanya tenang. Dan seandainya Allah berkehendak memeliharanya selama 9 bulan, semuanya pasti akan normal dan tenang. Allah memelihara bayi di rahim ibunya yang hanya seukuran balon ulang tahun. Tak butuh ruangan besar, tak butuh suplai energy besar.”
“Saya bersukur Allah membukakan mata hati saya untuk melihat betapa bodohnya manusia di hadapan-Nya. Sungguh jika ada manusia yang tak mampu melihat kerendahan dirinya, kefakiran dirinya, kebodohan dirinya, maka ialah manusia terbodoh”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
It is remarkable, very useful piece
salam sukses :)
Posting Komentar