Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

Nenek, Apakah Agamamu?

Hari Jum'at menjelang Ashar. Sambil merapikan kertas dan perlengkapan kantor lainnya, sekilas terlihat seorang wanita tua memasuki gerbang pesantren kami. Sebenarnya ada sebuah lonjakan aneh di otak ini, yang memaksa untuk memanggil sebuah memori yang tersimpan di bagian arsip terbawah, tapi rasa ingin cepat pulang menekan itu semua. Bukannya tidak peduli, tapi peristiwa seperti itu sudah sangat terlalu biasa dalam keseharian kami.

Oma (panggilan orang Manado untuk nenek) penjual kangkung, oma penjual pisang, oma penjual daun singkong dan bunga pepaya, dan oma-oma penjual barang kebutuhan dapur umum untuk santri kerap berlalu lalang. Mereka langsung ke bagian dapur umum menawarkan barang bawaannya, jarang sekali berhubungan dengan bagian administrasi kependidikan, bagianku.

Tapi rupanya tidak dengan sore hari itu. Nenek tersebut, diantar dua orang santri menuju kantor dan "Assalamu 'alaikum". Nenek itu mengucapkan salam dengan baik dan benar. Meskipun makhraj huruf 'ain-nya tak sebaik orang pesantren, tapi setidaknya sama dengan pejabat-pejabat Departemen Agama. Setelah dipersilahkan duduk sang nenekpun bercerita, "Kita ini kwa dari Manado, ada pigi lia tape cucu di Kampung Jawa. Serta sampe disana, nintau dorang ada pigi Ambon kasiang. Kita mo jual tape baju ini for vrag ke Manado". Artinya, nenek ini dari Manado (> 30 km dari pesantren). Ingin melihat cucunya di Kampung Jawa (> 6 km dari pesantren). Eh, setelah sampai di tujuan ternyata sang cucu ternyata sedang pergi ke Ambon. Dan ini nenek ingin menjual bajunya (terbungkus dalam sebuah tas plastik hitam kumal) untuk biaya pulang ke rumahnya di Manado. Kira-kira begitulah...

Sang nenek itupun membuka bungkusannya, tapi segera kutahan dengan menanyakan berapa kebutuhannya. Angka nominal disebutkan dalam satuan rupiah, dan nilai yang sama kukeluarkan dari dompet. Setelah meminta satu gelas air minum, sang nenekpun berpamitan, dengan mengatakan "Semoga Allah memberkati, Assalamu 'alaikum....". Lafadz Allah disebutkan sang nenek dengan tepat secara ilmu tajwid, yakni terdapat penebalan bacaan "lah", sehingga kurang lebih terdengar Alloh.

Terus terang, sejak sang nenek masuk pintu kantor tadi. Pemanggilan memori yang tadinya aku abaikan ternyata tak bisa ditahan. Ia hadir begitu saja, tanpa diminta dan tanpa sengaja. Dan ada sebuah keanehan yang terus menjarah rasa husnudh dhon-ku. Kejadian yang baru saja terjadi, sama persis dengan kejadian beberapa bulan yang lalu, sama persis. Skenario dan aktornya sama, hanya setting tempat dan waktunya yang berbeda.

Ceritanya begini. Beberapa bulan yang lalu, ketika aku nge-net di sebuah warnet, berjarak lebih dari 1 km dari pesantren. Kebetulan (meskipun pada dasarnya di dunia ini tak ada yang kebetulan) pakai komputer di dekat pintu masuk. Sekonyong-konyong masuk seorang nenek menawarkan baju yang di bungkus tas plastik hitam kumal untuk ongkos pulang. Nenekpun berkisah bahwa ia dari Manado menuju Kampung Jawa untuk menjenguk cucunya. Setelah sampai disana, ehh... sang cucu malah sedang keluar pulau, ke Ternate. Dan dia kehabisan uang, karena dari sang cuculah ia mengaharap uang untuk pulang. Tanpa pikir panjang aku keluarkan uang dari saku kemeja, uang kembalian angkot. Nenekpun berterima kasih dan mendo'akanku "Semoga Tuhan Yesus Memberkati".

Aku mengingat-ingat peristiwa itu bukan karena infaq tersebut, bukan karena do'anya. Tapi malahan dikarenakan jumlah uang yang telah kuberikan kepadanya, yakni Rp 8.000,00 (Delapan Ribu Rupiah). Jika nenek itu benar-benar kehabisan uang sejak sampai di rumah cucunya, maka dia telah berjalan sejauh 5 km untuk mencapai warnet ini dan bertemu denganku di siang hari terik itu. Dan dengan uang delapan ribu di tangan apa yang bisa dilakukan. Untuk sampai ke Manado, pertama ia harus naik angkot ke terminal, karena tidak ada bus antar kota yang melintas di depan warnet yang berada di pusat kota, bus kota hanya lewat ring road. Dan ongkos angkot ke terminal adalah dua ribu rupiah, kecuali ia lebih memilih berjalan sejauh 3 km melawan sengatan matahari yang tak bersahabat dengannya. Setelah itu, ia harus naik bus antar kota Tomohon - Manado. Dan itu artinya enam ribu rupiah. Kecuali ia memilih untuk berjalan sejauh 25 km, menyusuri jalan-jalan pegunungan, hutan dan jurang, hanya sesekali melihat perumahan. Dan apabila ia memilih naik kendaraan, maka delapan ribu yang ia pegang habis lunas. Lalu bagaimana ia sampai ke rumahnya. Sedangkan Manado begitu luas. Tak henti-hentinya aku menyesali diri. Menyesali diri, sambil googling makalah tentang Perang Salib untuk seorang teman yang telah membayar uang lelah sebesar lima puluh ribu.

Dan hari Jum'at, menjelang Ashar, nenek itu kembali hadir dengan fragmen cerita yang sama. Hanya kali ini ada yang berbeda. Pertemuan pertama ia berdoa "Semoga Tuhan Yesus Memberkati" dan pertemuan kedua "Semoga Allah Memberkati". Kesamaan modus dan perbedaan do'a inilah yang terus menerus menjarah rasa husnudh dhon-ku. Kenapa kemalangan yang sama bisa terjadi dua kali pada orang yang sama, kemalangan yang sangat spesifik? Jangan-jangan... Cut! pikiran ini kupotong sebelum benar-benar membatalkan amalanku.

Tapi bagaimana dengan do'anya? Pada pertemuan pertama aku yakin ia seorang Kristen. Dan aku tidak peduli itu. Bukankah Islam itu kaafatan lin naas (Islam untuk semua manusia). Artinya seorang muslim tak mempedulikan agama, ras, suku, gender, dan apapun pengkategoriannya untuk berbuat baik pada seseorang. Bahkan lebih dari itu Islam adalah rahmatan lil 'alamiin. Artinya, jangankan pada sesama manusia, kepada hewan, tumbuhan, gunung, lautan, dan bahkan luar angkasa sekalipun, seorang muslim wajib berbuat baik, menunjukkan Islam sebagai rahmat. Seandainya, pada pertemuan kedua ia konsisten dengan do'anya, akupun takkan bertanya-tanya.

Atau jangan-jangan ia seorang muslimah. Jika demikian mengapa do'a pertamanya Semoga Tuhan Yesus Memberkati, bukankah cukup dengan Semoga Tuhan Memberkati. Yang jelas ketika di warnet ia mungkin menganggapku seorang Kristen, karena di komunitas 5% muslim di Tomohon, sangatlah susah menjumpai seorang muslim di tengah kerumunan. Atau jangan-jangan ia seorang muallaf. Semua keraguan dan pertanyaan diatas boleh terjadi padanya, dan itu adalah haknya untuk memilih agamanya. Lakum Diinukum wa Liya Diin. Hanya saja aku berharap ia bukan termasuk orang yang menjual agamanya, menyesuaikan agamanya dengan orang yang telah berbuat baik atau yang ingin ia raih simpatinya. Karena yang demikian itu sudah banyak di negeri ini, dan sangat besar kerusakan yang diakibatkannya. Semoga Allah membimbing kita dan membersihkan niat kita. Amiin.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Yah mungkin secara tidak sadar kita nge judge bahwa nenek itu hanya menipu,aku pun begitu saat membaca.

Posting Komentar