Artinya: “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)Dan pada ayat yang lain
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya...” (QS. Al-An’am: 119)Dari uraian di atas terdapat tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan transfusi darah.
Pertama. Siapakah orang yang akan diberi tambahan darah? Orang yang perlu diberi tambahan darah ialah orang yang sakit atau terluka, yang keberlangsungan hidupnya sangat bergantung pada transfusi darah.
Kedua. Siapakah si pendonor darah? Si pendonor darah adalah orang yang tidak terancam resiko jika ia menodonorkan darahnya. Berdasarkan keumuman sabda Rasulullah SAW:
Artinya: “Tidak membahayakan diri dan orang lain.” [Riwayat Imam Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syekh Muhammad Nashiruddi al-Albani]Bagaimana jika pendonornya adalah seorang non-muslim?
Dengan menggunakan dalil-dalil dari Al Qur’an sebagaimana tersebut di atas, maka melakukan transfusi darah dari non-muslim hukumnya boleh.
Dan yang ketiga, siapakah yang menjadi rujukan dalam hal perlu tidaknya transfusi darah ini? Orang yang didengar ucapannya dalam masalah perlu tidaknya transfusi darah ini adalah dokter muslim. Jika kesulitan mendapatkannya, maka diperbolehkan (bahkan tidak ada larangan) untuk mendengar ucapan dari dokter non-muslim, jika ia ahli dan dipercaya banyak orang. Dalilnya yaitu kisah yang terdapat dalam hadits shohih, bahwa pada saat melakukan hijrah, rasulullah SAW menyewa seorang musyrik yang lihai sebagai pemandu jalan.
Wallahu a’lam.
Dirangkum dari: al-Fatawa al-Muta'alliqah bith Thibbi wa Ahkaami al-Mardha, hal 346 - 349)
0 komentar:
Posting Komentar