Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

Catatan Untuk Adiknya Faqih (1)

Setelah vakum selama 2 tahun 7 bulan, rahim istri tersayang terisi kembali. Tadinya sih sempat cemas, jangan-jangan Faqih bakalan jadi the one and only son for us. Dahulu kami menikah secara berjama’ah dengan 4 pasang mempelai yang lain, dalam prosesi nikah barokah a la Hidayatullah. Dan kami menjadi yang tercepat dalam “memproduksi kader”. 10 bulan pasca nikah lahir Faqih Mukhtar.

Waktu terus berlanjut, dan tak terasa usia Faqih sudah mendekati 3 tahun, dan 3 pasangan yang dulunya kami lewati, kini sudah berstatus 2 anak semua. Terus terang sejak Faqih berusia 2 tahun kami berniat memberikan adik buatnya. Semua normal, tapi kenapa yang dulunya cepat, bahkan terkesan tidak sengaja (just kidding), begitu diniatkan, direncanakan, dan diazamkan malah tersendat. Jangan-jangan ada kendala internal, itu yang sempat terlintas di benak.

Anggun (panggilan buat istri tersayang ketika lagi bulan madu), sempat beberapa kali terlambat bulan, tapi akhirnya datang juga. Sampai akhirnya 2 bulan yang lalu. Ia terlambat datang bulan plus ritual muntah-muntah. Dan itu artinya hamil. Insya Allah wal Hamdu liLLah.

Tidak seperti ketika mengandung Faqih, kali ini Anggun lebih agresif dalam MENGIDAM. Ronde pertama ia minta dibuatkan (bukan dibelikan loh) Tinutuan (Bubur Manado) plus Cakalang Fufu (Tongkol/Tuna Asap). Terang aja saya KO di ronde pertama. Dulu sih sempat bikin, tapi hasilnya jauh dari memuaskan. Akhirnya, terpaksa Anggun diungsikan ke rumah Mertua. Alasannya saya akan ikut pelatihan (kebetulan ada undangan pelatihan) selama 10 hari di Manado, khawatir dia kesepian. Ia sepakat, kami berangkat. Aman.

Waktunya telah tiba untuk menjemput Anggun, karena 10 hari telah berlalu. Tengah hari, terik, panas. Perjalanan laut yang biasanya semilir, kini bersimbah keringat asin. Sama asinya dengan air laut di Selat Lembeh. Sampai di rumah, salam, cium tangan ibu mertua. Hanya ibu mertua karena penghuni rumah yang lain memilih menyerah, berbaring, tengkurap, atau telentang tidur daripada berjuang menyelesaikan sisa pekerjaan dan tugas melawan matahari. Langsung ke dapur, mencari air minum yang sejak tadi dirindukan. Begitu tiba di dapur, segera mata ini tertuju pada sebuah tumpukan berbagai jenis umbi-umbian yang sulit disembunyikan. Ubi jalar, singkong, talas, termasuk pisang. Ternyata, Anggun tidak mau makan nasi. Jadi alternatifnya umbi-umbian plus pisang. Ronde kedua.

Ronde ketiga, ia berganti minta dicarikan rambutan. Buah yang musimnya sudah paripurna 6 bulan yang lalu. Mau cari dimana? Tapi demi istri, rambutanpun diburu dimanapun ia berada. Pasar tradisional, diubek-ubek, jangankan buahnya, bijinyapun gak kelihatan. Laporan disampaikan dan laporan ditolak. Anggun masih bersikeras minta rambutan. Alternatifnya, cari di mal-mal dan supermarket-supermarket yang ada di Manado. 30 km dari rumah.

Hampir seharian, keluar masuk supermarket. Tanya pada SPGnya, jawabannya satu, nihil. Sekarang tinggal merancang laporan agar diterima. Seketika saya teringat tafsirnya Buya Hamka, mengenai hadits tentang kalo perempuan itu seperti tulang rusuk. Didiamkan bengkok, dilurusin patah. Beliau mengatakan (kurang lebih) untuk mempengaruhi dan mengarahkan perempuan ke jalan yang “benar”, pendekatan berbasis emosi jauh lebih efektif ketimbang pendekatan berbasis logika. Tak ada salahnya mencoba rekomendasi beliau. Sayapun mengiba. Rambutan tidak ada, supermarket dari ujung utara sampai selatan sudah dijelajahi, mal-mal di ujung barat sudah penuh dengan bekas telapak sandal saya, tinggal satu satu mal di ujung timur. Kalau tidak ada rambutan di mal terakhir itu sudikah Anggung mengganti permintaan. Abi sudah kelaparan, kehausan, dan kelelahan.

Cling, rekomendasi Buya Hamka sukses. Rambutan berganti dengan jeruk dan salak besar. Kalau yang dua ini, biar dimana saja bakalan dapat, asal jangan cari di bengkel motor. Alhamdulillah.

0 komentar:

Posting Komentar