Delicious LinkedIn Facebook Twitter RSS Feed

Sampai Kapan Kita Boikot Israel

Beberapa hari yang lalu (saya lupa tepatnya, tapi saya masih ingat kalau saat itu serangan Israel ke Gaza sedang memanas), seorang kolega Kristen saya menelpon. Mengajak berdiskusi tentang suatu hal yang pernah kami diskusikan sebulan sebelumnya. Dia meminta saya menentukan waktu dan tempatnya. Saya jawab bagaimana kalau hari itu saja, karena kebetulan saya sedang berada di Manado. Tak setiap hari atau bahkan tak setiap minggu saya “turun” ke Manado. 60 Km perjalanan (PP) dan minimal 20 ribu saya habiskan untuk ongkos jalan, belum lagi waktu yang tak terhitung nilainya yang harus saya luangkan dalam perjalanan.


Dia bertanya posisi saya. Saya jawab kalau saya sedang di Gramedia. Dan kebetulan dia ada di konter KFC yang jaraknya tak lebih dari 30 m dari Gramedia. Saya pun memenuhi undangan mereka.

Ketika saya datang, mereka (1 orang kolega yang sudah saya kenal, dan 2 lainnya belum) sudah selesai makan, meja sudah bersih, cuma ada beberapa gelas softdrink. Mereka menawari saya untuk pesan makanan dan minuman, tapi saya jawab kalau saya sedang puasa. Merekapun minta pindah lokasi, tapi saya jawab gak perlu. Dimanapun saya berada, akan tetap juga ketemu orang makan. Kalau di Manado, jangankan sekarang, di bulan Ramadhan pun banyak orang makan di tempat umum. Mereka sepakat.

Hampir dua jam kami berdiskusi, dan lalu-lalang di depan saya saudara-saudara se-aqidah yang sedang “menikmati” menu Combo-nya KFC. Mereka saya kenali ke-Islamannya dari cara berpakaian, cara bicara dan cara berdo’anya (alhamdulillah, mereka masih sempat berdo’a sebelum makan). Bahkan di lantai 3 (tepat di atas saya) seorang anak muslim sedang merayakan ulang tahun ke-empatnya. Puluhan undangan yang sebagian besar muslim, bergiliran naik ke atas.

Dalam diskusi, yang mirip dengan curhat atau malah presentasi itu, saya lebih banyak mendengar atau malah pura-pura mendengar (Saya tidak perlu khawatir ini akan menyinggung teman Kristen saya, karena setelah diskusi saya menyampaikan uneg-uneg ini). Yang bergemuruh dalam pikiran saya adalah apakah saudara-saudara se-iman saya, yang berada di kanan, di kiri, depan, belakang, bawah dan atas saya tidak tahu kalau KFC termasuk produk yang diboikot, karena secara nyata telah menopang perekonomian Israel.

Siapa yang bertanggung jawab atas kegilaan ini. Pemerintahkah? Jelas bukan. Mediakah? Jelas bukan, karena semua tahu kalau media-media besar yang menguasai opini publik, selalu menerapkan standar ganda dan memihak Israel. Lalu siapa? Mungkin jawabnya adalah kita. Sudahkah kita mensosialisasikan pemboikotan ini kepada saudara dan teman kita? Atau justru malah kita mungkin lebih gila? Jangankan mempropagandakannya, kita malah tak peduli dengan pemboikotan itu. Kita berapologi dengan berbagai dalih.

Ketiadaan barang substitusi, kualitas barang lain yang rendah, sudah terlanjur biasa, adalah justifikasi yang biasa kita pakai untuk terus menerus membeli produk-produk Israel dan kroninya. Mulut kita tak henti-hentinya mengecam kebiadaban mereka, sambil dalam hati berniat untuk beli hp Nokia seri terbaru. Kita galang demo besar-besaran untuk membela Palestina, sambil kesana kemari menggotong dos Aqua (Aqua adalah bagian Danone yang termasuk daftar boikot) gelas untuk para demonstran. Apa ini bukan kegilaan namanya.

Waktu itu hampir media massa Indonesia, kecuali yang beraliran liberal (banyak dijumpai di Jakarta) dan Kristen (banyak ditemui di Manado), mengecam kebiadaban Israel. Kekejaman di luar batas peri kemanusiaan itu kita saksikan secara real time, maka ummat pun bereaksi.

Memang harus disadari bahwa kita ini masih reaksioner. Dan jika kita masih reaksioner, itu artinya yang menggerakkan kita sebenarnya adalah musuh-musuh Islam. Reaksi dan konsekuensi atas tindakan mereka (musuh-musuh Islam) sudah direncanakan dan telah dihitung secara presisi. Jadi bisa jadi, reaksi ummat ini adalah tujuan atau batu loncatan untuk meraih tujuan mereka. Dan itu artinya, reaksi kita adalah kemenangan mereka.

Oleh karenanya butuh rencana dan strategi, agar perjuangan ini mencapai kemengangan dan bukan jadi kuda tunggangan musuh Islam. Termasuk dalam pemboikotan ini. Seperti yang dikatakan oleh Mahatir Muhammad, bahwa tidak mungkin negera memboikot mereka. Yang mungkin melakukannya adalah warga-warga negara. Akan tetapi mustahil juga pemboikotan ini oleh warga negara (baca: masyarakat) akan membawa hasil jika tidak direncanakan dan dikelola oleh sebuah lembaga khusus (LSM, media massa, ormas, atau apapun namanya). Sehingga boikot bukan lagi cara perjuangan yang sifatnya musiman, tapi menjadi sesuatu yang kontinyu dan berkelanjutan. Coba Anda perhatikan sekarang, adakah iklan dan teriakan boikot kita jumpai di media-media? Nyaris tidak ada. Yang ada hanya pada sidebar-sidebar d blog saja. Yang semoga saja mereka memang peduli, bukan karena malas memperbaharui sidebarnya. Jika keadaannya begini, sampai kapan kita akan boikot Israel???

Tatkala, saya menerima majalah Hidayatullah edisi Pebruari (berhadiah poster boikot) saya berkirim pesan singkat pada Ust. Haryono, direktur majalah. Bahwa slogan di poster boikotnya kurang emosional. Saya usulkan, “Dengan membeli produk makanan dan minuman Israel, berarti Anda telah mengunyah daging dan meneguk darah bayi-bayi Palestina”. Seketika saya pusing mengingatnya, tatkala diatas saya, di lantai 3, MC acara ulang tahun itu memandu undangan untuk berdoa. “Allahumma baariklana fiima razaqtanaa waqinaa adzaabannar. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin”.

1 komentar:

IHSAN mengatakan...

yang bikin miris, klo ternyata saudara seiman kita ternyata tidak peduli sama saudaranya yang dibantai yahudi

Posting Komentar